Saturday, June 14, 2008

Sekilas Perkembangan Ilmu Bahasa Arab

Ilmu bahasa terdiri dari beberapa ilmu, di antaranya ilmu Nawu, ilmu Saraf, Balaghah, ilmu bahasa dan ilmu ‘Arudh.

a. Ilmu Nawu dan Saraf

Pada mulanya bahasa Arab dapat bertahan dengan kuat terhadap kemunduran yang mulai terasa pada akhir-akhir zaman Bani Umayyah, karana tampuk pemerintahannya, seperti jawatan panglima-panglima, gabenor-gabenor dan kedudukan penting lainnya masih dipegang oleh orang Arab, yang bahasanya tetap bahasa (fasih) murni dan bermutu, tambahan pula mereka sangat fanatic terhadap bangsa dan bahasanya.

Dimasa itu seseorang pemimpin yang menyimpang dari tata bahasa yang fasih walaupun sedikit saja sudah dianggap rendah dan hina. Tiap-tiap pemimpin, baik dia pemimpin politik mahupun pemimpin perang atau pemimpin sosial, semenjak dari khalifah sampai kepala daerah, adalah orang-orang yang ahli dalam bahasa, cakap berpidato dan dapat mengeritik qasidah-qasidah yang diucapkan dihadapannya. Kefasihan dan ketinggian mutu bahasa ini bukan saja dimiliki oleh para pemimpin, tetapi juga dimiliki umumnya bangsa Arab, karana perasaan bangga terhadap keturunan dan nasab serta perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tertinggi dan teristimewa, semangat mendalam dalam jiwa mereka (meskipun prinsip ini bertentangan dengan agama Islam) sehingga mereka enggan bergaul dengan orang yang bukan bangsa Arab dan merasa rerndah bila ikut bekerja bersama-sama orang ‘ajam (bukan orang Arab) itu.

Di antara orang-orang Arab itu jarang sekali yang mau bertani, bertukang, beternak dan sebagainya. Dengan demikian bahasa Arab dapat terjaga kemurniannya, karana percakapan-percakapan di antara orang-orang Arab tidak dapat dipengaruhi oleh kelemahan dan kekurangan mutu bahasa yang dipakai sehari-hari orang ‘ajam itu. Tetapi kerana berdirinya kerajaan Bani Abbas boleh dikatakan atas bantuan dan sokongan orang-orang Persia, terutama atas bantuan Abu Muslim Al-Khurasani, maka sebagai membalas jasa, maka diserahkanlah kepada mereka beberapa jabatan yang penting dalam Negara. Dan dengan beransur-ansur bertambah banyaklah di antara mereka yang menduduki posisi-posisi yang tinggi seperti gabenor, panglima dan menteri.

Makin lama maka bertambah (kukuh) kedudukan mereka, dan dengan sendirinya bertambah turun kedudukan orang Arab. Akhirnya tidak sampai satu abad semenjak berdirinya kerajaan Bani Abbas, semua kedudukan yang penting, kecuali pangkat khalifah telah dipegang orang Persia. Oleh kerana orang yang memegang kekuasaan bukan orang Arab lagi, maka hilanglah perasaan bangga terhadap nasab dan keturunan, atau perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tinggi dan mulia. Kalau dulu mereka enggan bekerja sebagai petani, peternak dan tukang, sekarang mereka telah memasuki semua lapangan, bahkan banyak di antara wanita-wanita Arab yang kawin dengan peranakan Arab-Persia, bahkan ada yang kawin dengan orang Persia sendiri.

Dengan ber-asimilasinya orang-orang Arab kedalam masyarakat orang Persia mulailah bahasa Arab mengalami kemunduran. Apalagi pemimpin-pemimpin yang berkuasa bukan orang Arab. Sehingga timbullah suatu bahasa pasar yang tidak dapat dianggap sebagai bahasa Arab yang murni, seperti yang terjadi di Mesir dan Damaskus, tetapi yang paling hebat adalah kemunduran bahasa Arab di Persia.

Hal ini menimbulkan kesadaran para ulama dan ahli bahasa Arab, sehingga mereka bangun serentak untuk mempertahankan bahasa Arab dari keruntuhannya. Dengan rusaknya bahasa Arab tentu tidak akan ada lagi yang dapat memahami Al-Qur’an Al-Karim, sedangkan Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang harus selalu dipelihara dan diselidiki isi dan maknanya. Kerana itu mereka merasa, bahwa diatas pundak merekalah terletak kewajiban untuk memelihara Al-Qur’an dengan jalan mempertahankan kemurnian bahasa Arab.

Untuk itu mereka telah mengarang ilmu Nahu (tatabahasa Arab) agar bahasa Arab itu dapat dipelajari dengan baik oleh umat yang tidak berbahasa Arab, sehingga mereka terhindar dari kesalah-kesalahan pengucapan dan dapat membaca dengan fasih.

Ilmu ini telah dirintis penyusunannya, mula-mula oleh Abul Aswad Ad-Duali, atas nasihat Ali bin Abi Thalib. Kemudian ilmu ia diperkembangkan di Bashrah dan menjadi luas pembahasannya, sehingga banyak ulama dan ahli-ahli bahasa yang mengarang kitab-kitab nahu itu, adalah Abu Ishaq Al-Hadhrami yang wafat tahun 117 H., Isa bin Umar yang wafat tahun 149 H. pengarang kitab Al Jaami’ dan Al Ikmal: Al Khalil bin Ahmad, Sibawaihi, Abu Amir bin Al-‘Ala’ yang wafat tahun 154 H. dan Al-Ahfasy, murid Sibawaihi, ilmu Nahu ini berkembang pula di Kufah yang dipelopori oleh Mu’adz Al-Harra’, Abu ja’far Ar-Ruasi dan kedua murid-muridnya Al-Kisai dan Al-Farra’, sehingga terjadilah dua aliran dalam ilmu Nahu ini, yaitu aliran Bashrah dan aliran Kufah. Akhirnya kedua aliran ini bertemu di Baghdad, pusar pemerintahan Abbasiyah- masing-masing dibahaskan oleh Ibnu Qutaibah dan Hanifah Al-Dinauri.

b. Balaghah

Mereka menyusun pula ilmu Balaghah yang mencakup ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’ untuk menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa dan segi-segi I’jaz Al Qur’an. Ilmu ini disusun setelah selesai mengarang Nahu dan Saraf.

Kitab yang mula-mula dikarang dalam ilmu Bayan ialah kitab Majazul Qur’an oleh Ubaidah, murid Al-Khalil. Kemudian disusul oleh beberapa ulama. Dalam kitab Al Ma’ani, kitab I’jaazul Qur’an yang dikarang oleh Al-Jahizh dan dalam ilmu Badi’ kitab yang dikarang oleh Ibnu Mu’taz dan Qudamah bin Ja’far. Kemudian berturut-turut ulama mengarang pelbagai kitab dalam ilmu Balaghah ini sampai muncullah seorang ahli Balaghah yang termasyhur yaitu Abul Qadir Al-Jurjani yang mengarang kitab Dalailil I’jaz dalam ilmu Ma’ani dan kitab Asrarul Balaghah dalam ilmu Bayan dan As-sakkaki yang mengarang kitab Miftahul Ulum yang mencakup segala masalah dalam ilmu Balaghah.

c. Ilmu Bahasa

Untuk memelihara pengertian kata-kata dalam Al-Qur’an mereka mengarang kamus bahasa Arab. Pada mulanya kamus-kamus ini hanya merupakan kitab-kitab kecil yang mengupas berbagai-bagai kata, seperti kata-kata yang berhubungan dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda. Kemudian muncullah Al-Khalil yang mengumpulkan kata-kata bahasa Arab dalam suatu kitab dan menyusunnya berdasar huruf-huruf yang dimulai dengan huruf ‘ain, kerana itu kitab ini disebut Kitabul ‘ain. Barulah kemudian dikarang kamus yang tersusun menurut huruf hijaiyah oleh Abu Bakar bin Duraid yang dinamakan Al Jamharah. Lalu timbullah pelbagai kamus yang dikarang ahli-ahli bahasa, di antaranya: Asd-Shihah yang dikarang oleh Al Jauhari, Al-Muhkam yang dikarang oleh Ibnu Syayidih, Al-Muhith yang dikarang oleh Ash Shahib bin ‘Ibad, An-Nihayah oleh Ibnu Atsir, Lisanul Arab oleh Ibnu Muqarran dan lain-lain.

Dicarikan dari berbagi sumber.

Disedikan oleh : Muhd Faa"iz Bin Safei@Suhaimi

0 comments: